Editor: Bernard Batubara
Tebal buku: 264 halaman
Cetakan ke: 1
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Gagas Media
ISBN: 979-780-816-5
Rating: 3 dari 5 bintang
blurb
Nanti tidak bisa begitu saja
menoleh dan pergi dari masa lalu
meskipun ia sudah berkali-kali melakukannya.
Terakhir, ia mengucapkan selamat tinggal dan menikah
dengan lelaki yang kini berbaring di makamnya itu.
Aku tidak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal.
Aku tidak pernah mau beranjak dari masa lalu.
Masa lalu, bagiku,
hanya masa depan yang pergi sementara.
Namun, ada saatnya ingatan akan kelelahan
dan meletakkan masa lalu di tepi jalan.
Angin akan datang menerbangkannya ke penjuru tiada,
Menepikannya ke liang lupa.
Dengan menuliskannya, ke dalam buku, misalnya,
masa lalu mungkin akan berbaring abadi
di halaman-halamannya.
Maaf, akhirnya, kisah ini kuceritakan
***
Membaca judul buku dan melihat kovernya membuat saya berpikir buku ini berkisah tentang masa lalu. Dan ya, dugaan saya benar! Buku ini menceritakan masa lalu Jiwa, sang tokoh utama, yang belum move on dari masa lalu. Justru ia ingin hidup di masa lalu. Ceritanya pun tak lepas dari kenangan. Kenangan.
Buku ini dibuka dengan barisan pesan Tenri, sahabat Jiwa Matajang, yang ditujukan kepada Nanti Kinan. Jiwa sempat mengirim email berisi manuskrip buku hariannya kepada Tenri sebelas bulan lalu sebelum Jiwa meninggal. Tenri pun berencana untuk menerbitkan manuskrip tersebut menjadi sebuah novel. Tenri meminta Nanti Kinan, mantan kekasih Jiwa, untuk memberi masukan terhadap isi buku. Sederhananya, manuskrip ini ditulis Jiwa dengan sudut pandang Jiwa dan dikoreksi oleh Nanti dengan sudut pandang Nanti itu sendiri.
Catatan Kaki
Nah, bagaimana Aan Mansyur mengombinasikan sudut pandang Jiwa dan Nanti? Aan Mansyur menyuguhkan catatan kaki sebagai hasil koreksi Nanti terhadap tulisan Jiwa. Catatan kakinya tidak satu dua baris saha, tap bisa satu paragraf. Sehingga catatan kaki ini perlu mendapat perhatian khusus pembaca dan sayang sekali untuk dilewatkan. Karena tentu saja kelemahan sudut pandang pertama hanya melihat dari satu sudut pandang saja, satu orang. Sementara di buku ini disajikan sudut pandang pertama dari tokoh Nanti. Informasi dari salah satu cerita dapat dikoreksi atau justru menjadi pelengkap. Bagi saya, nyaman-nyaman saja membaca catatan kaki yang lumayan banyak. Tidak banyak buku lokal yang mengemas cerita seperti ini.
Konflik Cerita
Isi cerita sendiri tidak lepas dari kisah percintaan Jiwa. Jiwa mengenal Nanti saat ia kuliah. Bersama Nanti ia membangun perpustakaan, perpustakaan terakhir yang mereka sebut Surga Kecil. Tapi sayangnya, hubungan mereka tidak sampai ke pernikahan, karena Nanti lebih memilih Wisran sebagai pendamping hidupnya. Sebenarnya banyak wanita yang pernah dekat dengan Jiwa, tapi tak satupun yang bisa menggantikan Nanti. Semua wanita hanya berlalu begitu saja. Ibunya Jiwa pun mendesak Jiwa untuk segera menikah, tetapi Jiwa sendiri tidak menginginkan. Ia akhirnya berpikir bahwa ia tidak ditakdirkan untuk menikah.
Bahasa Puitis
Buku ini tergolong romans, yang penuh dengan bahasa-bahasa puitis. Menurut saya, Aan Mansyur menjadikan bahasa puisits sebagai keunggulan dari buku ini. Jiwa sendiri diceritakan sebagai laki-laki yang pintar menulis dan peyuka puisi. Kepaiawaiannya tak lepas dari hobi Jiwa yang gemar membaca buku. Nanti pun kagum dengan tulisan puisi Jiwa.
Oleh karena buku ini puitis, banyak kaliamay yang bisa dijadikan "Quote of The Day" ala anak muda yang senfan galau patah hati. Yang paling saya suka adalah kutipannya seperti yang ada di halaman 250,
Hidup selalu punya tetapi."
Perpustakaan
Perpustakaan adalah tempat favorit Jiwa. Bersama Nanti, Jiwa membuat perpustakaan terakhir yang ia sebut Surga Kecil. Perpustakaan adalah surga bagi Jiwa. Ia terinspirasi dari kelompok perpustakaan punggung yang ada di kampusnya. Cukup dengan membawa beberapa buku di punggungmu, dan voila! jadila perpuskaan punggung yang sedia memberi ilmu di mana saja dan kapan saja. Surga kecil menjadi tempat Jiwa menghabiskan masa hidupnya. Bersama buku dan...sepi. Di buku ini juga disuguhkan rekomendasi judul buku yang menjadi favorit Jiwa, sebut saja Brave New World karya Aldous Huxley dan 1984 karya George Orwell. Menurut hemat saya, ini juga menjadi keunggulan dari Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi.
Di Balik Buku
Sebenarnya Aan Mansyur terisnpirasi dari mana saat menulis buku ini? Sebagian ide cerita berasal dari ksiah nyata yang dialami Aan Mansyur. Sebut saja fragmen cerita Perpustakaan Punggung. Perpustakaan Punggung di kehidupan nyata adalah perpustakaan milik Komunitas Inninawa. Adapula Perpustakaan "Surga Kecil" yang didirikan Jiwa dan Nanti yang di kehidupan nyata adalah Perpustakaan Katakerja yag didirikan Aan Mansyur dan sahabatnya. Nah, apakah Nanti adalah sosok yang pernah mengisi hati Aan Mansyur? Sila deskripsikan sendiri setelah membaca bukunya.
Overall, saya menikmati isi buku Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi, meskipun cerita galaunya tidak membuat saya tersentuh. Saya lebih tertarik dengan catatan kakinya dan ide Perpustakaan Punggung.
Sekian review buku dari saya.
0 komentar :
Posting Komentar