Penulis: Windry Ramadhina
Penyunting: Ayuning dan Gita Romadhona
Tebal buku: 360 + viii
Penerbit: Gagas Media
ISBN: 978-979-780-605-7
Rating: 3 dari 5 bintang
Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu,
memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
Tapi...,
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu,
mungkin aku tak akan pernah tahu
seperti apa rasanya berdua saja denganmu.
Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.
***
Jatuh cinta karena witing tresna jalaran saka kulina (cinta datang karena kebiasaan) menjadi tema klasik di genre romans. Inilah yang dialami Rayyi Karnaya, tokoh utama Montase. Rayyi, mahasiswa peminatan produksi Institut Kesenian Jakarta mengalami lika-liku kehidupan keluarga, cinta, dan idealismenya sebagai seorang mahasiswa.
Diceritakan Rayyi tak pernah suka dengan peminatan produksi, ia memilih itu semata-mata ayahnya menginginkan Rayyi meneruskan rumah produksinya. Rayyi lebih suka peminatan dokumenter, peminatan yang menurut ayahnya tidak memiliki masa depan yang jelas. Di satu sisi, Rayyi bertemu Samuel Hardi, produser profesional film dokumenter. Sejak itu kuliah Rayyi menjadi tidak beraturan.
Kehidupan Rayyi semakin tidak mulus sejak bertemu Haru Enomoto, mahasiswa manis asal Jepang yang mengambil peminatan dokumenter. Sifat terburu-buru Haru yang membuat dirinya teledor, cukup mengusik hari-hari Rayyi. Namun siapa sangka yang awalnya menyebalkan menjadi menyamankan?
Sampai pada akhirnya sesuatu terjadi pada Haru.
Yang tak pernah diduga Rayyi.
Yang tak pernah diharap Rayyi.
Dan waktu tak mau kembali, sekalipun Rayyi berdoa.
***
Cerita buku ini cukup klasik menurut saya. Tetapi setelah saya mempelajari karakter Rayyi dan Haru, saya mendapat pelajaran kehidupan. Karakter Rayyi digambarkan seperti laki-laki pada umumnya yang memiliki ego dan idealisme tinggi. Rayyi tidak suka peminatan produksi. Ia melakukan hal nekat yang sanggup membuat ayahnya marah. Ikut kuliah peminatan dokumenter meskipun tidak ada di SKS-nya, bolos kuliah, hingga kabur dari "program magang" di rumah produksi ayahnya. Rayyi tipe idealis, meskipun menurut saya Windry kurang kuat menanamkan idealisme di karakter Rayyi. Haru merupakan tipe kebalikan Rayyi. Haru memiliki cita-cita yang sama kuatnya dengan Rayyi, bedanya Haru tidak idealis. Haru menerima kenyataan bahwa ia harus merelakan cita-citanya demi keinginan orang tua. Orang tua adalah segalanya bagi Haru. Kebahagiaan orang tuanya lah cita-cita sejati Haru.
Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan. (hal 250)
Sudut pandang utama menggunakan tokoh Rayyi. Windry cukup terampil memanfaatkan tokoh Rayyi untuk mendeskripsikan tokoh-tokoh lainnya secara detail. Sehingga pembaca tahu karakter fisik maupun sifat tokoh lain. Saya sudah membaca ketiga buku Windry, yaitu London, Metropolis, dan Montase. Ketiganya memiliki kesamaan tokoh utama laki-laki. Mungkin Windry lelah dengan tokoh utama novel yang selalu identik dengan perempuan (hahaha).
Emosi di cerita ini kurang kuat. Saya baru terbawa suasana saat di tengah-tengah cerita. Cerita awal begitu datar, meskipun cerita itu cukup penting karena berhubungan dengan cerita berikutnya. Berbeda dengan buku London dengan genre yang sama, saya terbawa suasana dan karakter utamanya sejak awal cerita.
Dari segi bahasa, Windry cukup konsisten dengan diksi sederhana tetapi bermakna. Windry sedikit menggunakan kalimat bertele-tele atau menggunakan kalimat majemuk bertingkat. Kata-kata dalam bahasa Jepang juga dimasukkan di buku ini sebagai kalimat langsung Haru. Saya pun tidak menemukan tulisan typo yang membuat eye irritating. Sayangnya beberapa kejadian ada yang ditulis ulang. Seperti pengulangan cerita Rayyi dan Haru pergi ke Museum Prasasti. Saya tahu maksud ditulis ulang itu adalah menjelaskan mimpi Rayyi saat ia pergi berdua ke Museum Prasasti. Menurut saya, hal itu tidak perlu ditulis ulang, cukup diksinya saja yang diubah.
Anehnya lagi saat Rayyi pergi ke Jepang dan bertemu dengan orangtua Haru. Saya tidak mengerti mengapa tidak disisipi kata-kata Bahasa Jepang saat berdialog. Padahal saat berbicara dengan Haru, ucapan sederhana bahasa Jepang banyak disisipi. Alhamdulillah, rupanya Windry membaca review saya, dan memberi alasan bahwa itu merupakan aturan main yang dibuat.
Ending cerita memuaskan saya, meskipun sejatinya tidak saya harapkan. Lagi-lagi karena Windry berhasil memasukkan emosi di ending cerita.
Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi. (hal 347)
Buku ini saya rekomendasikan atau hanya cocok untuk pembaca di atas 17 tahun. Ada beberapa cerita yang anak kecil tidak boleh tahu.
***
Saya tidak sengaja menemukan buku ini di Gramedia Mall Malioboro, Jogjakarta, bersama teman saya Mas Eko dan Kak Yani. Harganya cukup mahal mengingat Gramedia tidak pernah memberi diskon kecuali memiliki kartu member atau ada even tertentu. Saya hampir saja membelinya meskipun mahal, karena saya tidak menemukan buku ini di Surabaya. Sampai pada akhirnya Mas Eko dan Kak Yani meyakinkan buku itu ada di Toko Buku Shopping dengan harga diskon. Dan ternyata ada, alhamdulillah :)
0 komentar :
Posting Komentar